WagonNews – Dua raksasa teknologi, Facebook (Meta) dan Nvidia, sedang meminta Mahkamah Agung AS untuk membebaskan mereka dari gugatan hukum mengenai penipuan sekuritas. Dalam dua kasus terpisah ini, Meta dan Nvidia berharap agar keputusan tersebut dapat membuat tuntutan serupa terhadap perusahaan-perusahaan lebih sulit dilakukan oleh pihak swasta.
Dalam beberapa bulan terakhir, Mahkamah Agung telah melemahkan kekuatan lembaga pengawas federal, termasuk Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) yang berwenang dalam pengawasan penipuan sekuritas. Keputusan-keputusan ini semakin menunjukkan bahwa para hakim kini condong untuk mengurangi kewenangan penggugat swasta dalam menegakkan aturan-aturan federal yang mengatur integritas korporasi. Hal ini, menurut pengamat, dapat mengubah cara penanganan pelanggaran yang biasanya dijalankan oleh otoritas negara maupun penggugat perorangan.
Andrew Feller, mantan pengacara SEC, menyatakan bahwa tren baru Mahkamah Agung yang mendukung kepentingan bisnis dalam beberapa kasus memperlihatkan peluang bagi Facebook dan Nvidia untuk memperoleh keputusan yang menguntungkan mereka dalam kasus ini. Dengan dominasi enam hakim konservatif dari sembilan anggota Mahkamah Agung, peluang ini dianggap cukup besar.
Menurut Feller, tren tersebut mencerminkan keinginan untuk membatasi tuntutan hukum yang bertujuan menuntut akuntabilitas bisnis, terutama ketika tindakan tersebut dilakukan oleh individu atau kelompok swasta. Pada dasarnya, hak pribadi untuk melakukan gugatan memberikan kekuatan bagi perorangan atau kelompok untuk menuntut ganti rugi atas pelanggaran tertentu, yang dalam hal ini adalah pelanggaran penipuan sekuritas.
Kasus Facebook: Tuduhan Terkait Data Cambridge Analytica
Kasus pertama yang akan didengar Mahkamah Agung melibatkan Facebook, yang kini beroperasi di bawah nama Meta. Dalam tuntutan ini, Facebook diminta bertanggung jawab atas tuduhan bahwa mereka menyesatkan investor tentang risiko bisnis mereka terkait skandal kebocoran data dengan Cambridge Analytica. Tuntutan hukum ini dipimpin oleh sekelompok investor Facebook yang diwakili oleh Amalgamated Bank. Dalam tuntutan tersebut, para investor menyatakan bahwa perusahaan menyembunyikan informasi tentang pelanggaran data yang terjadi pada tahun 2015, yang mencakup informasi pribadi dari lebih dari 30 juta pengguna Facebook.
Masalah ini mencuat setelah media mengungkapkan bahwa data pengguna Facebook telah disalahgunakan oleh Cambridge Analytica untuk mendukung kampanye kepresidenan Donald Trump pada 2016. Berita tersebut menyebabkan penurunan nilai saham Facebook, sehingga merugikan para investor. Investor kemudian mengajukan gugatan untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang mereka alami.
Poin utama dalam kasus ini adalah apakah Facebook melanggar undang-undang dengan tidak mengungkapkan adanya kebocoran data tersebut dalam laporan risiko bisnis mereka. Investor menuduh bahwa Facebook menyampaikan risiko kebocoran data seolah-olah hanya sebagai ancaman yang belum terjadi, padahal kejadian tersebut sudah berlangsung sebelumnya. Dalam dokumen pengajuan ke Mahkamah Agung, Facebook berargumen bahwa mereka tidak diwajibkan untuk mengungkapkan bahwa ancaman tersebut telah terjadi, karena risiko-risiko semacam itu dianggap bersifat prediktif dan tidak pasti.
Kasus ini sebelumnya diselesaikan oleh SEC pada 2019, di mana Facebook membayar denda sebesar $100 juta sebagai bagian dari persetujuan atas tindakan yang dianggap menyesatkan investor. Selain itu, perusahaan juga dikenakan denda sebesar $5 miliar oleh Komisi Perdagangan Federal AS (FTC) terkait kasus Cambridge Analytica tersebut.
Michael Perino, profesor hukum di Universitas St. John’s, New York, menyebut bahwa hak gugatan oleh pihak swasta merupakan pelengkap penting bagi tindakan yang dijalankan pemerintah. Menurutnya, SEC mungkin tidak memiliki cukup sumber daya untuk menangani semua kasus penipuan sekuritas, sehingga gugatan kelompok atau gugatan perwakilan memberikan kesempatan bagi pengacara swasta untuk memperjuangkan hak-hak investor yang merasa dirugikan.
Kasus Nvidia: Pembelian Kripto yang Disembunyikan
Di sisi lain, pada 13 November, Mahkamah Agung juga akan mendengarkan argumen Nvidia dalam usaha mereka untuk membatalkan gugatan hukum yang menuduh mereka menyesatkan investor terkait pengaruh industri kripto pada pertumbuhan pendapatan perusahaan. Kasus ini diajukan oleh firma pengelola investasi asal Stockholm, E. Ohman J
Fonder AB. Dalam tuntutannya, mereka menyatakan bahwa Nvidia telah menyampaikan informasi yang menyesatkan pada tahun 2017 dan 2018 terkait seberapa besar pendapatan perusahaan yang berasal dari penjualan produk kepada penambang mata uang kripto.
Menurut penggugat, Nvidia gagal memberikan informasi akurat yang membuat investor dan analis kurang memahami dampak industri kripto terhadap bisnis Nvidia. Pada dasarnya, dengan memberikan kesan yang salah terkait kontribusi industri kripto, Nvidia dianggap melanggar kepercayaan yang diberikan oleh investor.
Dalam dokumen ke Mahkamah Agung, Nvidia berargumen bahwa tuntutan ini tidak memenuhi standar hukum berdasarkan Undang-Undang Reformasi Litigasi Sekuritas Swasta (PSLRA) yang diberlakukan pada 1995. Undang-undang tersebut memperketat kriteria bagi penggugat untuk mengajukan gugatan penipuan sekuritas oleh pihak swasta, guna mengurangi tuntutan hukum yang tidak beralasan.
Pada 2022, Nvidia setuju untuk membayar denda sebesar $5,5 juta kepada otoritas AS atas tuduhan bahwa perusahaan gagal mengungkapkan secara transparan dampak penambangan mata uang kripto pada lini bisnis gaming mereka.
David Shargel, pengacara yang berpengalaman dalam menangani kasus-kasus terkait SEC, menilai bahwa putusan-putusan terbaru Mahkamah Agung yang melemahkan regulator federal membuka peluang bagi lebih banyak gugatan swasta. Menurut Shargel, dalam beberapa kasus, Mahkamah Agung menilai SEC telah melanggar hak Konstitusi, seperti yang terjadi pada putusan 27 Juni, yang menyatakan bahwa penegakan aturan SEC di dalam lembaga mereka sendiri melanggar hak Konstitusi terkait juri. Akibat dari keputusan ini, SEC serta lembaga federal lainnya mungkin akan menghadapi kesulitan untuk menuntut perusahaan atas penipuan, sehingga gugatan oleh pihak swasta dapat lebih sering diajukan.
Shargel menambahkan, bahwa walau sulit untuk memprediksi arah keputusan Mahkamah Agung dalam kasus-kasus ini, ada potensi bahwa gugatan perwakilan swasta akan menjadi lebih signifikan. Menurutnya, kelemahan dalam regulasi pemerintah ini dapat memberikan lebih banyak ruang bagi penggugat swasta untuk menuntut perusahaan-perusahaan besar.
Masa Depan Gugatan Sekuritas oleh Pihak Swasta
Keputusan Mahkamah Agung dalam dua kasus ini berpotensi membentuk ulang cara penanganan penipuan sekuritas di Amerika Serikat. Jika permintaan Facebook dan Nvidia untuk menghentikan gugatan ini disetujui, maka akan lebih sulit bagi penggugat swasta untuk menuntut perusahaan-perusahaan di bawah aturan sekuritas federal. Namun, jika permintaan ini ditolak, perusahaan teknologi besar mungkin harus lebih transparan dan berhati-hati dalam pengungkapan informasi yang dapat mempengaruhi nilai investasi mereka.
Kecenderungan Mahkamah Agung yang mempersempit kekuasaan regulator dan meningkatkan peluang bagi tuntutan hukum swasta menciptakan dinamika baru dalam hukum korporasi. Bagi investor, perubahan ini memberikan peluang untuk menuntut ganti rugi secara langsung bila perusahaan dianggap tidak jujur atau tidak transparan dalam informasi yang diberikan. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar mungkin akan lebih berhati-hati dalam merilis informasi agar tidak menghadapi tuntutan hukum yang bisa merugikan mereka.
WagonNews akan terus memantau perkembangan terbaru dari kasus ini dan bagaimana Mahkamah Agung AS akan memutuskan tuntutan Facebook dan Nvidia ini, yang berpotensi mengubah lanskap hukum sekuritas di Amerika Serikat.