WagonNews, Jakarta – Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, baru-baru ini mengajukan rencana kebijakan baru terkait mata uang kripto yang memancing berbagai reaksi di tengah masyarakat. Kebijakan ini menitikberatkan pada upaya melindungi para investor kulit hitam yang aktif di dunia aset digital, sebuah langkah yang menjadi bagian dari strategi untuk meraih dukungan pemilih kulit hitam dalam pemilu mendatang.
Tim kampanye Harris mengumumkan agenda ini sebagai bagian dari janji untuk merumuskan regulasi kripto yang lebih ketat, guna memberikan perlindungan lebih bagi para investor kulit hitam yang semakin banyak terlibat dalam investasi kripto. Langkah ini disambut dengan respons beragam dari berbagai pihak, termasuk para investor dan industri kripto.
Sebagian besar pihak memuji kebijakan ini karena dianggap memberikan arah yang jelas terkait regulasi, sementara ada juga yang mengkritik karena kebijakan ini tampak terlalu fokus pada kelompok demografi tertentu, yakni pria kulit hitam. Namun, langkah ini tetap dilihat sebagai salah satu upaya untuk memperkuat pemberdayaan ekonomi masyarakat kulit hitam, khususnya di sektor teknologi dan aset digital.
Reaksi Beragam dari Para Pengamat Kripto
Ali Emdad, Direktur Pusat Studi Blockchain dan Teknologi Keuangan di Universitas Negeri Morgan, berkomentar bahwa pengumuman ini memang sudah ditunggu oleh banyak pihak, terutama komunitas kripto dan investor kulit hitam. “Riset menunjukkan bahwa lebih dari seperempat warga Amerika berkulit hitam memiliki mata uang kripto, dibandingkan dengan sekitar 15 persen warga kulit putih,” ujar Emdad. Menurutnya, kripto telah menjadi alat yang lebih diterima oleh masyarakat kulit hitam, dan regulasi yang jelas sangat diperlukan agar perkembangan ini terus berjalan positif.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan yang lebih jelas di sektor kripto akan mendorong inovasi di kalangan komunitas kulit hitam, yang dapat menjadi pemimpin dalam teknologi finansial yang sedang berkembang. Namun, Emdad menambahkan pentingnya keterlibatan langsung para pemimpin komunitas kulit hitam dalam proses pengembangan kebijakan agar regulasi tersebut benar-benar dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Meskipun demikian, ia juga mengakui bahwa ada beberapa pihak yang mungkin bersikap skeptis, mengingat sejarah ketidakpercayaan terhadap sistem keuangan. Namun, bagi yang lain, kebijakan ini dapat dilihat sebagai langkah penting menuju pemberdayaan ekonomi yang lebih besar.
Minat Investor Ritel pada Kripto Meningkat Tajam
Di sisi lain, data terbaru menunjukkan bahwa minat dari investor ritel terhadap kripto, terutama Bitcoin, mengalami lonjakan yang signifikan pada bulan Oktober 2024. Analis dari CryptoQuant, Julio Moreno, melaporkan bahwa terjadi peningkatan permintaan dari investor ritel sebesar 13 persen pada bulan tersebut, setelah adanya jeda dari bulan Juni hingga akhir September.
Aktivitas ini mendekati level yang sebelumnya diamati ketika Bitcoin mencapai puncaknya pada Maret 2024. Menurut Moreno, tren ini serupa dengan yang terjadi pada tahun 2017, di mana investor ritel mulai mengakumulasi Bitcoin secara masif setelah kripto tersebut melampaui rekor tertinggi sebelumnya.
Untuk menganalisis lonjakan minat ini, CryptoQuant mengamati beberapa indikator, seperti jumlah total Bitcoin yang disimpan di dompet dengan saldo di bawah satu Bitcoin. “Jumlah ini naik dari 1,734 juta BTC pada Maret, menjadi 1,752 juta BTC saat ini,” jelas Moreno. Selain itu, volume transaksi on-chain di bawah USD 10.000 menunjukkan aktivitas dari para investor kecil yang semakin banyak.
Tidak hanya investor ritel, minat institusional terhadap Bitcoin juga menunjukkan peningkatan yang signifikan, terutama terlihat dari aliran dana yang masuk ke produk Exchange Traded Fund (ETF) Bitcoin. Hingga pertengahan Oktober, aliran masuk bersih ke ETF ini telah melampaui USD 21 miliar, atau setara dengan Rp 328,6 triliun.
Namun, meski ada peningkatan aktivitas dari investor ritel dan institusional, volatilitas harga Bitcoin masih tinggi. Fluktuasi ini menunjukkan bahwa meskipun minat terhadap Bitcoin meningkat, pergerakan harganya masih bisa mengalami ketidakstabilan dalam waktu dekat.
Prediksi Harga Bitcoin pada 2025
Dalam perkembangan lain, para analis di Bernstein telah mengeluarkan proyeksi terbaru terkait harga Bitcoin. Mereka memprediksi bahwa mata uang digital ini dapat mencapai USD 200.000, atau setara dengan Rp 3,1 miliar, pada akhir tahun 2025. Proyeksi ini dilaporkan sebagai prediksi konservatif, didasarkan pada kondisi pasokan Bitcoin yang terbatas, di tengah meningkatnya utang nasional Amerika Serikat yang mencapai USD 35 triliun.
Gautam Chhugani, pemimpin divisi aset digital di Bernstein, menyatakan bahwa Bitcoin semakin dilihat sebagai alternatif yang menarik bagi aset tradisional seperti emas, terutama di tengah kekhawatiran terhadap inflasi dan lonjakan utang nasional. Dalam lanskap ekonomi global yang berubah, Bitcoin menjadi pilihan yang lebih relevan untuk perlindungan nilai kekayaan.
Bagi investor yang masih ragu untuk berinvestasi langsung pada Bitcoin, Chhugani merekomendasikan untuk mempertimbangkan saham di perusahaan-perusahaan yang memiliki eksposur tidak langsung terhadap Bitcoin, seperti MicroStrategy dan Robinhood. Kedua perusahaan ini menawarkan peluang bagi investor untuk terlibat dalam pasar kripto tanpa harus langsung membeli Bitcoin.
Disclaimer: Semua keputusan investasi berada di tangan pembaca. WagonNews tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian yang mungkin timbul dari keputusan investasi yang diambil. Pelajari dan analisis terlebih dahulu sebelum membeli atau menjual aset kripto.