WagonNews – Pada tanggal 6 Oktober, laporan dari Wall Street Journal mengungkapkan bahwa peretas China berhasil menembus jaringan penyedia layanan broadband di Amerika Serikat dan memperoleh akses ke sistem yang digunakan oleh pemerintah federal untuk penyadapan yang sah berdasarkan perintah pengadilan. Beberapa perusahaan telekomunikasi besar seperti Verizon Communications, AT&T, dan Lumen Technologies termasuk di antara yang terdampak oleh pelanggaran ini, menurut sumber yang mengetahui situasi tersebut.
Menurut laporan tersebut, peretas mungkin telah memiliki akses selama beberapa bulan ke infrastruktur jaringan yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut untuk memenuhi permintaan komunikasi yang diawasi oleh pengadilan AS. Selain itu, mereka juga berhasil mengakses lalu lintas internet lainnya.
Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada hari Minggu menanggapi laporan ini dengan menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui serangan yang dimaksud dalam laporan tersebut. Pihak kementerian juga menyebut bahwa Amerika Serikat telah “membuat narasi palsu” di masa lalu untuk menjebak China. Tanggapan ini memperkuat penolakan Beijing terhadap tuduhan dari pemerintah AS maupun pihak lainnya yang menyebut bahwa China menggunakan peretas untuk menyusup ke sistem komputer asing.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis ke Reuters, Kementerian Luar Negeri China mengatakan, “Di saat keamanan siber telah menjadi tantangan bersama bagi seluruh negara di dunia, pendekatan yang salah ini hanya akan menghambat upaya komunitas internasional dalam menghadapi tantangan ini melalui dialog dan kerja sama.”
Sebelumnya, AS sudah beberapa kali melayangkan tuduhan terhadap China terkait aktivitas peretasan. Bahkan, otoritas penegak hukum AS pada awal tahun ini berhasil menghentikan kelompok peretas besar asal China yang dijuluki “Flax Typhoon,” setelah menghadapi Beijing dalam kampanye mata-mata siber yang dinamai “Volt Typhoon.” Namun, Tiongkok membalas tuduhan tersebut dengan menyatakan bahwa serangan “Volt Typhoon” merupakan hasil rekayasa yang didalangi oleh organisasi ransomware internasional, menurut bukti yang ditemukan oleh badan keamanan siber China.
Lumen Technologies menolak memberikan komentar terkait pelanggaran tersebut, sementara Verizon dan AT&T belum memberikan tanggapan terhadap permintaan komentar dari Wall Street Journal.
Menurut sumber yang dikutip dalam laporan tersebut, serangan ini diduga dilakukan oleh kelompok peretas asal China dengan tujuan untuk mengumpulkan intelijen. Penyelidik AS memberi nama kelompok tersebut “Salt Typhoon.” Ini bukan pertama kalinya AS menghadapi tuduhan terkait peretasan oleh aktor negara China. Serangan siber semacam ini telah menjadi sorotan di tengah meningkatnya ketegangan antara dua negara adidaya ini, terutama dalam masalah keamanan siber dan spionase digital.
Sebagai informasi tambahan, serangan peretasan dengan motif pengumpulan intelijen seperti ini semakin sering terjadi, terutama yang melibatkan aktor negara. Amerika Serikat dan sekutunya beberapa kali telah menuduh China melakukan spionase siber secara besar-besaran, dengan target mencakup instansi pemerintah, perusahaan teknologi, hingga infrastruktur penting lainnya. Tuduhan ini tentunya menjadi salah satu titik panas dalam hubungan diplomatik antara kedua negara, meski China berkali-kali membantah tuduhan tersebut.
Ketegangan Pihak Pihak Besar Yang Terkait
China sendiri dalam beberapa tahun terakhir telah mengadopsi langkah-langkah keamanan siber yang lebih ketat, termasuk memperkenalkan peraturan yang lebih ketat terkait perlindungan data dan keamanan siber di dalam negeri. Namun, meski kebijakan domestik ini semakin ketat, tuduhan terkait keterlibatan China dalam serangan siber internasional terus berlanjut. Hal ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara kebijakan internal China dengan perilaku aktor siber yang sering dikaitkan dengan negara tersebut.
Bagi Amerika Serikat, kasus-kasus peretasan seperti ini menambah tantangan baru dalam upaya meningkatkan pertahanan siber mereka. Departemen Keamanan Dalam Negeri AS dan badan-badan terkait telah berinvestasi dalam pengembangan teknologi pertahanan siber, serta memperkuat kemitraan dengan sektor swasta untuk mengatasi ancaman yang terus berkembang. Namun, dengan semakin canggihnya taktik yang digunakan oleh kelompok peretas, pertarungan untuk mempertahankan keamanan siber menjadi semakin sulit.
Kasus pelanggaran yang terjadi pada Verizon, AT&T, dan Lumen Technologies ini menjadi contoh nyata bahwa ancaman peretasan tidak hanya terbatas pada sektor swasta atau pemerintahan saja, tetapi juga melibatkan infrastruktur penting yang menopang komunikasi dan aktivitas digital sehari-hari. Jaringan penyedia layanan telekomunikasi yang disusupi ini berperan penting dalam mendukung penyelidikan hukum di Amerika Serikat, terutama yang melibatkan komunikasi yang diawasi oleh pengadilan. Hal ini menunjukkan betapa rentannya sistem yang seharusnya memberikan keamanan dan perlindungan privasi bagi warga negara terhadap ancaman eksternal.
Ketika ditanya tentang dugaan pelanggaran ini, Lumen Technologies memilih untuk tidak berkomentar, sementara Verizon dan AT&T juga belum memberikan jawaban atas permintaan klarifikasi dari media.
Penanganan kasus peretasan ini memerlukan kerja sama internasional yang erat, tidak hanya antara Amerika Serikat dan sekutunya, tetapi juga melibatkan negara-negara yang dicurigai terlibat dalam aktivitas peretasan, seperti China. Meski hubungan diplomatik antara dua negara ini sering kali tegang, terutama dalam masalah keamanan siber, kolaborasi global masih diperlukan untuk menangani ancaman yang terus berkembang ini.
Dalam konteks ini, komunitas internasional perlu membangun mekanisme yang lebih solid untuk mengatasi ancaman siber, baik melalui perjanjian multilateral, dialog antar negara, maupun melalui kerja sama teknis antara lembaga keamanan siber di seluruh dunia. Hanya dengan kerja sama semacam itu, tantangan global seperti keamanan siber dapat dihadapi dengan lebih efektif dan efisien.
Dengan meningkatnya jumlah dan skala serangan siber yang melibatkan aktor negara, masa depan keamanan digital akan sangat bergantung pada kemampuan negara-negara untuk bersatu dan bekerja sama menghadapi ancaman bersama ini. China dan Amerika Serikat, sebagai dua kekuatan besar dunia, memiliki peran penting dalam membentuk masa depan keamanan siber global.