WagonNews – Apple masih akan tetap berjaya di pasar Barat, namun di China, panggung sudah dimiliki oleh Huawei, Oppo, dan Vivo, kata Howard Yu dari IMD Business School.
Selama bertahun-tahun, hubungan antara Apple dan China menjadi salah satu contoh simbiosis bisnis yang luar biasa. Di satu sisi, China menawarkan pasar yang sangat menguntungkan dengan konsumen yang bersedia membayar mahal untuk produk Apple. Di sisi lain, China adalah negara satu-satunya dengan kemampuan manufaktur yang bisa memenuhi permintaan Apple akan rantai pasokan yang sangat detail. Kombinasi ini telah mendukung ambisi global Steve Jobs dan kini Tim Cook.
Namun, dominasi Apple di pasar ekonomi terbesar kedua dunia kini mulai terguncang. Tantangan yang dihadapi Apple di China terlihat semakin sulit diatasi.
Apple Mulai Tergeser di Pasar China
Hingga pertengahan 2024, Apple sudah tidak lagi termasuk dalam lima besar vendor smartphone di China. Dengan pangsa pasar sebesar 14 persen, Apple kini berada di posisi keenam di negara tersebut. Vendor-vendor yang berada di atas Apple antara lain Vivo, Oppo, Honor, Xiaomi, dan tentu saja, Huawei.
Mungkin mudah untuk menyalahkan ketegangan geopolitik atas perubahan ini. Akan tetapi, anggapan bahwa konsumen China cenderung memilih produk domestik karena alasan nasionalisme tidak sepenuhnya akurat. Jawaban yang lebih jelas justru terletak pada penawaran Apple yang kurang menarik bagi konsumen di negara tersebut.
Respon Dingin Terhadap iPhone 16
Dulu, peluncuran iPhone selalu menjadi sorotan global. Antrean panjang di luar toko Apple menjadi pemandangan umum di kota-kota besar seperti New York dan Shanghai. Namun, pada 2024, peluncuran iPhone 16 terasa seperti sebuah lagu lama yang diputar ulang, tanpa kejutan atau inovasi besar.
iPhone 16 hanya menawarkan peningkatan yang cukup minimal: chip A18 yang sedikit lebih cepat, layar yang lebih besar dengan bezel lebih tipis, dan tombol kontrol kamera baru di sisi perangkat. Semua perbaikan ini secara teknis memang solid, tetapi tidak ada yang benar-benar revolusioner.
Reaksi pasar pun mencerminkan sikap konsumen yang biasa-biasa saja. Saham Apple turun 3 persen setelah laporan muncul bahwa pre-order untuk iPhone 16 Pro dan Pro Max lebih rendah dibandingkan pendahulunya. Seolah-olah sudah bisa memprediksi lemahnya permintaan, Apple bahkan telah memotong harga iPhone 16 di Australia dan India.
Namun, semua belum sepenuhnya hilang. Jika peningkatan perangkat keras tidak lagi memikat konsumen untuk mengeluarkan uang lebih, ada satu harapan terakhir: kecerdasan buatan (AI) mungkin bisa menjadi penyelamat. Kehidupan Apple pasca-iPhone 16 masih bisa cerah.
Beralih ke AI
Chatbot AI seperti ChatGPT dan Gemini kini bisa membantu Anda mengingatkan untuk menjemput anak-anak, mengukur kualitas tidur Anda semalam, hingga memberi tahu saat Anda makan berlebihan. Tim Cook melihat peluang besar untuk mengintegrasikan kemampuan pihak ketiga ini ke dalam satu perangkat demi pengalaman pengguna yang lebih mulus.
Apple siap memperkenalkan “Apple Intelligence”, yang akan memanfaatkan kendali penuh Apple atas perangkat keras dan perangkat lunak untuk menciptakan pengalaman yang terintegrasi dengan fokus pada privasi.
Namun, ada satu masalah: Apple tidak bisa membangun model AI umum dari awal. Bahkan Microsoft Copilot menggunakan teknologi dari ChatGPT. Apple pun tak mungkin mengejar ketertinggalan dalam hal riset dasar.
Sebagai gantinya, Apple berencana untuk menyuntikkan teknologi OpenAI ke dalam Siri dan alat-alat tulis default seperti pesan teks, email, pencarian, dan sebagainya. Hal ini akan memungkinkan semua fungsi AI diproses di perangkat secara langsung, sehingga meningkatkan kecepatan pemrosesan sekaligus menjaga privasi data pengguna. Ini adalah perubahan besar yang akan membedakan Apple dari pesaing lainnya.
Namun sayangnya, tiket AI ini tidak akan menyelamatkan Apple di China. Beijing belum mengizinkan layanan AI asing seperti ChatGPT, sehingga kemitraan Apple dengan OpenAI tidak mungkin terjadi di pasar ini. Tentu saja, Apple berencana untuk bekerja sama dengan Baidu guna mengintegrasikan model bahasa lokal. Namun, model lokal ini masih belum sekompleks OpenAI.
Dengan demikian, posisi Apple di China kembali ke titik awal. Ketidakmampuan Apple untuk memilih alat AI yang sesuai dengan pasar China akan semakin melemahkan posisinya.
Dekopling Teknologi antara AS dan China
Semua kesulitan ini diperparah dengan inovasi perangkat keras yang terus didorong oleh merek-merek seperti Huawei, Oppo, dan Vivo. Huawei baru-baru ini meluncurkan Mate XT yang langsung menarik perhatian. Ponsel lipat tiga ini lebih tipis dibandingkan model Samsung dan, ketika dibuka penuh, ukurannya hampir setara dengan iPad mini.
Meskipun harga Mate XT tidak murah—sekitar US$2.800—ponsel ini berhasil mencatatkan lebih dari 3 juta pre-order hanya dalam beberapa hari. Namun, keberhasilan terbaru Huawei ini bukanlah alasan di balik kemunduran Apple. Sebenarnya, perusahaan seperti Oppo dan Vivo yang telah lama meningkatkan keandalan, efisiensi biaya, dan fitur perangkat keras mereka secara bertahap yang benar-benar menutup celah dengan Apple.
Proses pemisahan teknologi antara AS dan China juga telah melangkah lebih jauh. Apple mungkin akan terus berjaya di pasar Barat, tetapi di China, pangsa pasar semakin dikuasai oleh perusahaan lokal. Meskipun hubungan erat antara Apple dan China telah terjalin selama puluhan tahun, bahkan Tim Cook tidak bisa melawan arus ini.
Apple, yang dulunya sangat mendominasi, sekarang menghadapi persaingan ketat dari para pesaing lokal yang lebih agresif dan inovatif. Teknologi AI mungkin bisa menjadi harapan untuk mempertahankan posisinya di pasar global, namun di China, inovasi-inovasi lokal seperti Huawei, Oppo, dan Vivo sepertinya sudah semakin mengukuhkan posisi mereka di hati konsumen. Apple harus memikirkan langkah strategis selanjutnya, terutama jika ingin tetap relevan di pasar yang terus berkembang pesat ini.