Hampir 200 aktivis lingkungan kehilangan nyawa mereka tahun lalu, dengan jumlah korban terbanyak berasal dari Amerika Selatan, berdasarkan laporan dari organisasi hak asasi manusia Global Witness. Artikel ini menceritakan tentang tiga aktivis lingkungan yang menghadapi kekerasan dan represi, berjuang melawan tambang emas ilegal di Ekuador, budidaya udang yang merugikan di Karimunjawa, dan proyek minyak yang dipertanyakan di Uganda.
Perjuangan di Karimunjawa dan Uganda
Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang aktivis di Karimunjawa, pernah mengalami serangan, penangkapan, dan tuntutan hukum karena upayanya untuk melindungi taman nasional. “Selama beberapa hari, saya merasa tidak nyaman di leher dan pundak, Tapi syukurlah tidak lebih dari itu. Yang dapat ancaman nyawa itu teman-teman saya,” ungkap Daniel saat ditemui di Jakarta. Dia yang lahir dan besar di ibu kota jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Karimunjawa, pulau yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional. Sejak kunjungan pertamanya pada tahun 2011, Daniel memutuskan untuk menetap di sana dan mengamati dampak buruk dari tambak udang ilegal yang mulai marak sejak 2017.
Air limbah dari tambak ini merusak rumput laut dan memaksa kehidupan laut menjauh dari pantai, yang berdampak langsung pada kehidupan komunitas nelayan. Pada tahun 2022, Daniel mendukung gerakan #SaveKarimunjawa untuk mendorong penegakan aturan yang melarang keberadaan tambak udang tersebut. Namun, semangatnya dalam aktivisme membuatnya menjadi sasaran intimidasi dan serangan. Ia ditangkap pada Desember 2023 atas dakwaan ujaran kebencian terkait unggahan di Facebook yang mengkritik tambak udang ilegal.
Sementara itu, Abdulaziz Bweete, seorang aktivis muda di Uganda, juga mengalami kekerasan saat menggelar protes terhadap proyek minyak bernilai miliaran dolar. Ia ditangkap dan dipenjara di fasilitas maksimum Luzira hingga bulan Agustus. “Tentu saja kami menghadapi banyak tantangan. Saya pernah masuk penjara,” kata Bweete. Di negara yang dikuasai oleh Presiden Yoweri Museveni selama empat dekade, demonstrasi sering kali mendapat respons keras dari aparat keamanan. Bweete menekankan bahwa politik dan perubahan iklim harus berjalan seiring, dan perjuangan mereka masih jauh dari selesai.
Kemenangan Hukum di Ekuador
Alex Lucitante, seorang pemimpin komunitas adat Cofan di perbatasan Ekuador dan Kolombia, berhasil meraih kemenangan hukum yang bersejarah pada tahun 2018 dengan menggagalkan 52 konsesi tambang emas. Aktivitasnya tersebut membawanya meraih penghargaan lingkungan Goldman, yang sering dianggap sebagai Nobel bagi para pembela lingkungan. Meskipun ia telah menerapkan sistem patroli dan pengawasan, penambang ilegal tetap melanggar batas wilayah adat mereka. “Kerusakan masih terjadi di seluruh tanah kami, dan ancamannya semakin kuat,” ungkapnya, menyoroti bahwa semua aktivitas merusak ini berlangsung dengan sepengetahuan pihak berwenang yang sering kali berkolaborasi dengan pelaku ilegal.
Lucitante menyerukan kepada pemimpin global untuk mendengarkan “suara masyarakat Pribumi” dan mendukung upaya mereka untuk “mempertahankan kehidupan.” Perjuangan ketiga aktivis ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh para pembela lingkungan di seluruh dunia, di mana nyawa dan hak mereka dipertaruhkan demi melindungi alam dan komunitas yang mereka cintai.