Sebuah laporan terbaru mengungkapkan bahwa Undang-Undang Penistaan Agama di Pakistan sering kali menjadi alat yang disalahgunakan dalam sistem peradilan. Para terdakwa menghadapi tuduhan yang kerap kali tidak didukung bukti kuat, diiringi proses hukum yang lambat dan penahanan praperadilan yang berkepanjangan. Hakim yang menangani kasus-kasus ini cenderung sangat berhati-hati agar tidak menimbulkan ketegangan antar kelompok agama.
Organisasi internasional, Yayasan Clooney untuk Keadilan (Clooney Foundation for Justice/CFJ), merilis laporan ini pada Senin (16/9), mengungkap hasil pemantauan mereka terhadap 24 kasus penistaan agama di Lahore, ibu kota provinsi Punjab. Pemantauan dilakukan selama enam bulan sepanjang tahun 2022 dan memberikan gambaran yang mencemaskan tentang ketidakadilan yang dialami oleh para terdakwa.
Ancaman Hukuman Mati dan Proses Hukum yang Melelahkan
Sebanyak 15 terdakwa dalam kasus ini menghadapi ancaman hukuman mati jika terbukti bersalah. Namun, laporan CFJ mencatat bahwa sebagian besar kasus tersebut menunjukkan sedikit kemajuan. Dari total 252 sidang yang dipantau, 217 sidang ditunda tanpa kejelasan. Hal ini membuat banyak terdakwa harus menunggu di penjara dalam penahanan praperadilan yang berkepanjangan.
“Proses hukum yang penuh dengan penundaan dan ketidakadilan ini memperburuk lingkungan penyalahgunaan hukum yang sudah ada. Diskriminasi dan intimidasi terus menyelimuti penerapan UU Penistaan Agama di Pakistan,” jelas Zimran Samuel, seorang ahli hukum di CFJ sekaligus profesor tamu di London School of Economics. Ia menegaskan bahwa undang-undang ini memerlukan reformasi besar-besaran agar lebih selaras dengan keadilan yang sejati.
Polemik UU Penistaan Agama
Di Pakistan, pernyataan yang dianggap menghina Islam atau Nabi Muhammad bisa berujung pada hukuman mati. Meski belum ada eksekusi yang dilakukan di bawah UU ini, laporan CFJ menyoroti bahwa aturan tersebut tidak sesuai dengan standar internasional, termasuk Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Banyak tuduhan dalam kasus penistaan agama di Pakistan tidak memiliki dasar bukti yang jelas. Pelapor sering kali tidak menjadi saksi langsung atas kejadian yang dituduhkan, dan beberapa kasus bahkan tidak secara jelas mengidentifikasi kata-kata yang dianggap menyinggung. Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa UU tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan pribadi atau politik.
Perlindungan Hukum yang Diabaikan
Meski UU di Pakistan memiliki mekanisme perlindungan, seperti keharusan mendapatkan persetujuan dari pemerintah sebelum tuduhan diajukan, laporan CFJ menyatakan bahwa perlindungan ini sering kali tidak diterapkan. Hal ini menambah potensi penyalahgunaan hukum yang lebih besar, di mana individu dapat dituntut dengan dasar yang tidak adil.
Dengan munculnya laporan ini, diharapkan adanya reformasi mendesak terhadap UU Penistaan Agama di Pakistan, demi menjamin keadilan dan perlindungan hak asasi manusia bagi semua pihak yang terlibat dalam sistem hukum negara tersebut.